."Saudara-saudara, tugas kalian kami kirim ke negeri-negeri muslim
bukanlah untuk memurtadkan kaum muslimin menjadi Kristen ataupun Yahudi. Tapi
cukuplah dengan menjauhkan mereka dari Islam. Kita jadikan mereka sebagai generasi
muda Islam yang jauh dari Islam, malas bekerja keras, suka berfoya-foya, senang
dengan segala kemaksiatan, memburu kenikmatan hidup, dan orientasi hidupnya
semata untuk memuaskan hawa nafsunya”...
Itulah pidato Samuel Marinus Sweimmer di depan para pendeta Yahudi dan
Kristen yang akan dikirim ke negeri-negeri muslim dalam Konferensi Missi pada
tahun 1935 M di Jerusalem.
Konferensi Yahudi pada tahun 1938 di Prancis
SEBAGAI arsitek yang berniat menghancurkan pemuda muslim, Zweimmer sadar bahwa
memurtadkan kaum muslimin bukanlah perkadara mudah. Jangankan memurtadkan,
meminta kaum muslimin untuk tidak meyakini Al Qur’an saja hanya bisa menjadi
mimpi bagi Yahudi.
Namun, Zweimmer bukanlah pendeta biasa. Dia sudah dilatih bagaimana
menghancurkan kaum muslimin secara sistematis. Dalam penantiannya, dia begitu
telaten dan gigih menyiapkan jurus ampuh menaklukan bangsa terbesar di dunia
ini.
Hingga kemudian Evangelis asal Amerika Serikat ini berpendapat: jika memurtadkan
kaum muslimin adalah langkah sulit, maka menjauhkan umat Islam dari ajaran
agamanya bukanlah hal yang mustahil bagi barat.
Boleh seorang muslim berKTP Islam, tapi otaknya mengikuti Yahudi. Boleh
namanya Ahmad tapi pikirannya mengikuti nafsu sesaat.
Menariknya, alat ampuh yang diciptakan Zweimmer bukanlah roket dan rudal.
Bukan pula senjata dan basoka, tapi nafsu jelata dan invasi budaya.
Target awal yang harus ditaklukan Yahudi adalah wanita. Mengapa? Karena
Wanita adalah pewaris generasi, pelahir mujahid rabbani. Tak heran Muhammad
Quthb pernah mengeluarkan kalimat monumentalnya.
Seorang anak yang rusak masih bisa menjadi baik asal ia pernah mendapatkan
pengasuhan seorang ibu yang baik. Sebaliknya, seorang ibu yang rusak akhlaknya,
hanya akan melahirkan generasi yang rusak pula akhlaknya. Itulah mengapa yang
dihancurkan pertama kali oleh Yahudi adalah wanita.
Kini, siapa sangka, 80 tahun setelah Zweimmer menancapkan proyeknya, kaum
muslimin perlahan-lahan mulai melepaskan budayanya. Tak sedikit satu-dua remaja
yang hancur kehidupannya di masa muda. Mereka lebih mengenal budaya luar,
daripada agamanya.
Siapa sangka, demi menyambut Valentine para wanita rela menggadaikan
kehormatannya. Bagi mereka, Valentine adalah hari raya yang wajib dirayakan. Jika
tidak, maka menjadi kuno dan ketinggalan tren global. Padahal tren global yang
dimau Barat adalah beralihnya seorang muslim mengikuti jejak Kristen maupun
Yahudi
Pada tahun 496 M, misalnya, Paus Gelasius I secara jelas memasukkan upacara
ritual Romawi kuno ke dalam agama Nasrani yang sejak itu resmi bernama
Valentine’s Day.
The Encyclopedia Britania, vol. 12, sub judul Chistianity, menulis:
“Agar lebih mendekatkan lagi kepada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius
I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi hari perayaan gereja dengan nama
Saint Valentine’s Day untuk menghormati St. Valentine yang kebetulan mati pada
14 Februari (The World Encylopedia 1998). Nama Valentinus di duga merujuk pada
tiga martir atau santo (orang suci) yang berbeda yaitu Pastur di Roma, Uskup
Interamna (modern Terni), dan Martir di provinsi Romawi Afrika
Jadi jelas kemana arah Valentine. Dari sinilah kita teringat firman Allah
dalam Surat Al Baqarah 120 bahwa, “Orang-orang Yahudi tidak akan pernah ridha
dan tidak pula orang-orang Nashara selamanya sampai kiamat akan terus berusaha
mempengaruhi kita hingga kita betul-betul masuk dalam milah (prinsip hidup)
mereka”. Menariknya, Allah di sini memakai kata-kata “millah”, bukan “Dien”.
Apakah yang dimaksud millah? Tidak lain sebagai gaya hidup, tata cara,
style, pola pergaulan, dan lain sebagainya.
Tepatlah sabda Rasulullah, “Kelak Kamu akan mengikuti perilaku orang-orang
sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga kalau
mereka masuk ke lubang biawak pun kamu ikut memasukinya.” Para sahabat lantas
bertanya, “Apakah yang anda maksud orang-orang Yahudi dan Nasrani, ya
Rasulullah?” Beliau menjawab, “Siapa lagi (kalau bukan mereka)?” (HR Bukhary).
Tentu kita tidak bisa berdiam diri. Bangkit dan bergerak adalah sebuah
keharusan. Belum ada kata terlambat untuk membina para remaja muslim. Bahwa
selain invasi dari luar, kita juga harus melakukan intropeksi sejauh mana
dakwah kita menyentuh para pemuda.
Semoga kampanye “I am muslim No #ValentinesDay” yang kini dilakukan para
pemuda muslim dapat menyentak semangat kita untuk bangkit. Sekali lagi, belum
ada kata terlambat untuk berubah
#Karena wanita terhormat itu dimuliakan dengan akad, bukan dengan coklat
yang cuma berujung maksiat dan nikmat sesaat. Sepakat, shalihat?